"Allah itu siapa? Dimana dan sedang apa sekarang? Aku ingin mengenalnya..."
®M Siryi Zamil
***
Buk! Buk! Entah berapa ratus kali pentungan itu menyambar tubuhku. Tubuhku melemas. Tak berdaya. Tak peduli aku melolong sakit dan minta tolong. Nihil. Kau tau... sekujur tubuhku memar, lebam, bengkak dan seolah seluruh tulang tubuhku remuk. Entah barang keras apa saja yang hinggap di sekujur tubuhku lantaran onar yang aku perbuat di sebuah mesjid beberapa menit lalu.
Tak cukup itu saja, mereka juga menyeret tubuhku di sepanjang jalan sembari berteriak ”ini malingnya yang selalu mencuri uang amal mesjid” begitu kata mereka. Aku dipertontonkan pada orang orang sekampung di tempat itu dan dibilang pencuri uang di kotak amal mesjid yang sering habis saat tiba waktunya diambil oleh muadzin mesjid. Aku tidak merasa menjadi pelaku akan hal itu karena jujur hanya kali ini saja aku kebetulan mampir di mesjid itu.
Sebelumnya, aku tidak kenal mesjid itu. Ya, aku sama sekali tidak kenal mesjid itu dan daerah mana.
“orang ini harus dihabisin!” sergah salah seorang dari mereka sesekali dilayangkan sebuah pukulan keras. Yang lain pun berteriak setuju sembari menuding-nuding dengan berang ke arahku. Aku tidak bisa lagi mengelak dengan sergahan mereka. Aku hanya bisa pasrah saja.
Beberapa jenak kemudian datang seorang nan gagah dengan pakaian serba putih.
“Ini pak kiai yang selalu mencuri uang amal di mesjid itu!” ucap salah satu dari mereka. Menunjuk ke araku lagi.
“Ya, pak kiai ini harus dikasih pelajaran agar kampung ini aman!” tambah lainnya dengan suara ribut.
“Semuanya, diharap tenang, menghadapi masalah seperti ini, bukan seperti itu caranya. Kita tidak boleh sembarangan menuduh. Kita harus tau terlebih dahulu apakah orang yang dituduh itu betul atau tidak menurut saksi yang shah.” Jelas pak kiai itu. Menyejukkan rasanya mendengar kata-katanya yang bijak.
“Lebih baik kalian bubar saja biar saya yang bicara dengan orang ini” tambahnya. Tak satupun diantara mereka yang bersuara. Mereka menuruti perkataannya.
Tragedi itu mengundang rasa sesal yang tiada tara dalam diriku dan hal itu terjadi karena kekhilafan yang aku lakukan, yaitu selalu membangkang perkataan abah dan ummi semenjak berada di rumah hingga saat ini. Ya, pada waktu itu pagi-pagi sekali aku meringkuk di kamar. Dari luar pintu entah sudah berapa kali suara ummi memanggil-manggil sambil mengetuk-ngetuk pintu namun aku tidak menggubrisnya sama sekali. aku tidak menghiraukan suara ummi lantaran memperbaiki selimut tidur dan berusaha untuk tidur lebih nyenyak lagi. aku tau mengapa ummi mendatangi kamarku sebelum pajar mengumbar di ufuk timur tiada lain agar aku segera bangun dan menyegerakan shalat shubuh sebelum waktu shalat shubuh benar-benar tiada, seperti hari hari sebelumnya.
Tapi bagiku, shalat itu untuk apa sich. Bukankah mengerjakannya hanya membuang-buang waktu saja. Tidak ada gunanya. Coba kita pikir abah dan ummi tiap hari shalat, tiap malam shalat, tiap shubuh shalat, shalat shalat shalat selalu shalat, tapi tak ada imbalan apapun yang mereka terima. Palingan Cuma payahnya saja yang ada. Lantas, buat apa mengerjakan shalat yang katanya untuk menyembah tuhan yang bernama allah. Hanya buang-buang tenaga menyembah tuhan yang tidak tau seperti apa rupanya.
Hampir setiap pagi ummi mengetuk-ngetuk pintu. Sudah selesai shalat? Begitu ucapnya juga pada waktu shalat yang lain. Aku pun tak kalah beralasan. Selalu mengatakan ya pada ummi meskipun sejatinya aku adalah orang yang anti shalat atau bahkan paling benci mendengar kata shalat dan sebangsanya.
Akhirnya semua keluargaku tidak mampu juga meningkahi sikapku yang demikian termasuk ummi. Dia sudah tidak kuat lagi mendidiku dan mulai berusul untuk menempatkan aku ke sebuah pondok pesantren kepada abah. Abah adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani banyak orang di kampungku. Ya, hampir semua orang di kampungku yang takluk akan kebijakan abah. Kasih tau Hj. Mustofa dulu. Begitu kata mereka sebelum memvoting keputusan dari suatu perkara. Baru mereka boleh bertindak kalau sudah ada keputusan positif dari abah. Demikian sekilas mengenai abah. Tapi bagiku abah adalah orang yang misterius yang pekerjaannya tiap hari hanya ibadah terus atau lebih terangnya abah adalah orang ahli ibadah menurutku. Selebihnya tidak aku tau.
Abah sepakat dengan pendapat ummi memindahkan aku untuk tinggal di pondok pesantren. Mereka memanggilku dan memberi aku tau panjang lebar mengenai pondok pesantren. Abah bilang bahwa pesantren adalah suatu tempat untuk belajar ilmu agama. Aku hanya menganggukkan kepala. Bertanda setuju. Meskipun sejatinya aku tidak tau ilmu agama itu seperti apa. hanya sebagai tindakan rasa patuh saja pada abah dan ummi. Sementara dalam otakku bertubi-tubi kalimat yang menimpali perkataan abah dan ummi. Tapi mau apa lagi. aku harus menurutinya.
***
Beberapa hari kemudian, kehidupanku harus benar-benar hengkang dari semua keluargaku. kalau semenjak dulu alas tidurku sprimbed kali berubah bilik bambu dan hambal tipis yang apabila aku tempati membuat kulit gatal, kalau semenjak dulu selalu makan dengan nyaman bersama keluarga kali ini harus mandiri juga kalau dari dulu tempat mandiku mewah tanpa sedikitpun kekurangan air namun kali ini selalu merasa tidak puas karena untuk cuci mukapun harus berebutan dengan santri- santri yang lain. Mengurangi kepadatan saat antrian yang begitu banyak, aku sering memutuskan pergi ke sungai yang berada di sebelah selatan pondok. Begitulah kehidupan di sebuah pondok pesantren AL- HIDAYAT, yang berada di daerah kabupaten Pamekasan, sebuah kabupaten yang dikenal daerah pendidikan dari empat kabupaten di Madura.
Satu, dua, tiga hari, aku mulai tidak kerasan di pesantren itu. rasa gelisah, bosan dan lain sebagainya semakin menghantuiku. Semua yang tidak aku sukai saat berada di rumah menjadi sempurna di tempat guna belajar ilmu agama tersebut. Mulai shalat berjamaah lima waktu yang wajib bagi semua penghuni disana, mengaji kitab juga belajar baca al-quran yang sering menggangu tidur nyenyakku saat terdengar suara ummi membacanya dulu di rumah. Aku pun mulai memahami bahwa ilmu agama adalah hal yang selama ini aku benci. Ya. Aku sangat benci ilmu agama. Aku tidak mau belajar itu aku tidak mau belajar itu... aku tidak mau...
Telah aku putuskan bahwa aku tidak angin belajar ilmu agama itu. hingga akhirnya aku nekad kabur dari pondok pesantren AL-HIDAYAT tanpa memberi tau abah dan ummi juga pengurus pesantren yang selalu menindak santri yang tidak shalat berjemaah dan bolos mengaji kitab. Ini tempat iblis. Begitu batinku mengecam pesantren itu.
Semenjak itu kehidupanku berubah menjadi gelandangan yang hanya keluyuran di sepanjang jalan. Dan yang sering aku lakukan sebagai obat dari kegelisahan hati ini, aku selalu mampir di bar, meminum zat beralkohol itu dengan sebanyak banyaknya hingga membuat diriku jauh dari kendali pikiran normalku. Dan dalam pada itu, aku berjalan gontai menuju sebuah mesjid dengan tawa yang terus berbahak sembari memanggil nama Allah dengan tak karuan.
“Allah, dimana kau sekarang? ini aku sudah datang ingin bertemu kamu... hahha... dimana kau sekarang keluarlah!” ucapku lantang dalam mesjid itu. Tanpa menghiraukan tempat itu suci. Aku menginjakkan kaki dengan seenaknya tanpa melepas sandal yang entah telah berepa kali menyentuh barang najis. Akibat itulah aku dikroyok dan diseret massal oleh orang-orang sekampung. Hingga tubuhku tak berdaya.
Hidupku terasa berbeda setelah tinggal bersama kiai itu. hatiku damai dan tenang saat bertatapan dengannya. kata-katanya yang lemah lembut seakan menggetarkan jiwa, hatinya yang mulia bagai berlian yang mengkilau bagiku.
Indah. Sungguh, orang itu itu menyejukkan jiwa, bagai rinai hujan dalam kemarau hatiku.
Rasa ingin berguru pada orang berjubah putih itu mulai timbul. Ya. Dengan hadirnya rasa damai saat berada di dekatnya itu membuatku ingin belajar hidup padanya.
***
Tubuhku tidak bisa kugerakkan. Rasa sakit dan ngilu di sekujur tubuhku membuatku harus terbaring lama di ranjang tua pak kiai. Rasanya aku butuh waktu yang lama untuk bisa bergerak dan beraktivitas. Namun begitu aku harus segera sembuh lantaran agar tidak terlalu merepotkan kiai itu. seharusnya aku tidak mendapatkan pertolongan sebaik ini karena aku adalah orang yang telah mengkacaukan masyarakat sekampung. Nah itu yang membuatku harus belajar sesuatu dari kiai nan bijak itu.
“Sudahkah ada perkembangan dengan kondisimu, nduk?” tanya kiai itu menghampiri ranjang yang aku tempati.
“Terimakasih banyak kiai!” ucapku sambil berusaha bangun untuk meraih tangannya yang mulai keriput namun aku gagal melakukannya lantaran rasa sakit yang teramat sangat merantai tubuhku. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian hari kemarin.
Aku ingin sekali mencium tangan orang tua itu dan meminta maaf padanya. namun aku masih belum bisa melakukan itu sepenuhnya. Aku hanya bisa menitikkan buliran air mata saat semua itu aku sadari.
“Berterima kasihlah pada Allah, nduk! ” ucap kiai itu membuatku tidak paham.
“Allah itu siapa kiai?” tanyaku antusia dengan kata yang satu itu.
Semenjak sebelumnya aku tidak pernah suka mendengar kata-kata itu. karena aku mengira dia hanya sebatas nama benda yang antik.
“Allah itu adalah tuhan semesta alam, dia yang menciptakan kita, serta mengendalikan semuanya, nduk! Berterimakasihlah padaNya, karena sesungguhnya, dia yang mengizinkanmu untuk berada di tempat ini” jelasnya panjang membuatku semakin paham tentang nama itu.
“Sedang apa dan dimana dia sekarang, kiai?” tanyaku selidik.
“Dia sekarang sedang mengidzinkan kita berdialog tentang-Nya, nduk. Dia tak berumah seperti kita, tak punya bapak dan ibu, tidak pula beranak! Dia tak bertempat, tapi dimana kita berada, dia mengetahuinya. Itulah tuhan kita Allah, nduk! ” ucapnya.
“kiai, ajarilah aku ilmu agama. Aku ingin kenal denganya!” kataku memohon. Aku merasa sangat berdosa padaNya karena lebih dari sering aku menyukutukan Allah. Aku ingin minta ampun dan bertaubat padaNya. aku merasa sangat berdosa padanya. Ya berdosa.
“tenangkan dulu kondisimu, nduk! Soal itu, aku sangat bersedia. Aku punya teman disana. dia adalah pakar agama yang pernah mengajariku ” ucap kiai itu padaku yang tergolek.
“kalau boleh tau siapa orangt itu, kiai?” tanyaku menyelidik.
“Dia adalah Hj. Mustofa, berkediaman kabupaten Sumenep”
Degg! Apa benar dia adalah abah?
***
EPILOG
Asyhada Allah Ilaha Illallah Wasyhadu Anna Muhammadurrasulullah...
Dengan hati yang tulus, tergumam dari suara nan lirih dari mulutku, disaksikan langit dan bumi, aku melafadzkan Syahadatain. Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusanNya.
Abah. Abah adalah guru agamaku yang memperkenalkan aku kepada Allah. Allahuakbar...(*)
|Banyuanyar |17 Februari 2015
®M Siryi Zamil
***
Buk! Buk! Entah berapa ratus kali pentungan itu menyambar tubuhku. Tubuhku melemas. Tak berdaya. Tak peduli aku melolong sakit dan minta tolong. Nihil. Kau tau... sekujur tubuhku memar, lebam, bengkak dan seolah seluruh tulang tubuhku remuk. Entah barang keras apa saja yang hinggap di sekujur tubuhku lantaran onar yang aku perbuat di sebuah mesjid beberapa menit lalu.
Tak cukup itu saja, mereka juga menyeret tubuhku di sepanjang jalan sembari berteriak ”ini malingnya yang selalu mencuri uang amal mesjid” begitu kata mereka. Aku dipertontonkan pada orang orang sekampung di tempat itu dan dibilang pencuri uang di kotak amal mesjid yang sering habis saat tiba waktunya diambil oleh muadzin mesjid. Aku tidak merasa menjadi pelaku akan hal itu karena jujur hanya kali ini saja aku kebetulan mampir di mesjid itu.
Sebelumnya, aku tidak kenal mesjid itu. Ya, aku sama sekali tidak kenal mesjid itu dan daerah mana.
“orang ini harus dihabisin!” sergah salah seorang dari mereka sesekali dilayangkan sebuah pukulan keras. Yang lain pun berteriak setuju sembari menuding-nuding dengan berang ke arahku. Aku tidak bisa lagi mengelak dengan sergahan mereka. Aku hanya bisa pasrah saja.
Beberapa jenak kemudian datang seorang nan gagah dengan pakaian serba putih.
“Ini pak kiai yang selalu mencuri uang amal di mesjid itu!” ucap salah satu dari mereka. Menunjuk ke araku lagi.
“Ya, pak kiai ini harus dikasih pelajaran agar kampung ini aman!” tambah lainnya dengan suara ribut.
“Semuanya, diharap tenang, menghadapi masalah seperti ini, bukan seperti itu caranya. Kita tidak boleh sembarangan menuduh. Kita harus tau terlebih dahulu apakah orang yang dituduh itu betul atau tidak menurut saksi yang shah.” Jelas pak kiai itu. Menyejukkan rasanya mendengar kata-katanya yang bijak.
“Lebih baik kalian bubar saja biar saya yang bicara dengan orang ini” tambahnya. Tak satupun diantara mereka yang bersuara. Mereka menuruti perkataannya.
Tragedi itu mengundang rasa sesal yang tiada tara dalam diriku dan hal itu terjadi karena kekhilafan yang aku lakukan, yaitu selalu membangkang perkataan abah dan ummi semenjak berada di rumah hingga saat ini. Ya, pada waktu itu pagi-pagi sekali aku meringkuk di kamar. Dari luar pintu entah sudah berapa kali suara ummi memanggil-manggil sambil mengetuk-ngetuk pintu namun aku tidak menggubrisnya sama sekali. aku tidak menghiraukan suara ummi lantaran memperbaiki selimut tidur dan berusaha untuk tidur lebih nyenyak lagi. aku tau mengapa ummi mendatangi kamarku sebelum pajar mengumbar di ufuk timur tiada lain agar aku segera bangun dan menyegerakan shalat shubuh sebelum waktu shalat shubuh benar-benar tiada, seperti hari hari sebelumnya.
Tapi bagiku, shalat itu untuk apa sich. Bukankah mengerjakannya hanya membuang-buang waktu saja. Tidak ada gunanya. Coba kita pikir abah dan ummi tiap hari shalat, tiap malam shalat, tiap shubuh shalat, shalat shalat shalat selalu shalat, tapi tak ada imbalan apapun yang mereka terima. Palingan Cuma payahnya saja yang ada. Lantas, buat apa mengerjakan shalat yang katanya untuk menyembah tuhan yang bernama allah. Hanya buang-buang tenaga menyembah tuhan yang tidak tau seperti apa rupanya.
Hampir setiap pagi ummi mengetuk-ngetuk pintu. Sudah selesai shalat? Begitu ucapnya juga pada waktu shalat yang lain. Aku pun tak kalah beralasan. Selalu mengatakan ya pada ummi meskipun sejatinya aku adalah orang yang anti shalat atau bahkan paling benci mendengar kata shalat dan sebangsanya.
Akhirnya semua keluargaku tidak mampu juga meningkahi sikapku yang demikian termasuk ummi. Dia sudah tidak kuat lagi mendidiku dan mulai berusul untuk menempatkan aku ke sebuah pondok pesantren kepada abah. Abah adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani banyak orang di kampungku. Ya, hampir semua orang di kampungku yang takluk akan kebijakan abah. Kasih tau Hj. Mustofa dulu. Begitu kata mereka sebelum memvoting keputusan dari suatu perkara. Baru mereka boleh bertindak kalau sudah ada keputusan positif dari abah. Demikian sekilas mengenai abah. Tapi bagiku abah adalah orang yang misterius yang pekerjaannya tiap hari hanya ibadah terus atau lebih terangnya abah adalah orang ahli ibadah menurutku. Selebihnya tidak aku tau.
Abah sepakat dengan pendapat ummi memindahkan aku untuk tinggal di pondok pesantren. Mereka memanggilku dan memberi aku tau panjang lebar mengenai pondok pesantren. Abah bilang bahwa pesantren adalah suatu tempat untuk belajar ilmu agama. Aku hanya menganggukkan kepala. Bertanda setuju. Meskipun sejatinya aku tidak tau ilmu agama itu seperti apa. hanya sebagai tindakan rasa patuh saja pada abah dan ummi. Sementara dalam otakku bertubi-tubi kalimat yang menimpali perkataan abah dan ummi. Tapi mau apa lagi. aku harus menurutinya.
***
Beberapa hari kemudian, kehidupanku harus benar-benar hengkang dari semua keluargaku. kalau semenjak dulu alas tidurku sprimbed kali berubah bilik bambu dan hambal tipis yang apabila aku tempati membuat kulit gatal, kalau semenjak dulu selalu makan dengan nyaman bersama keluarga kali ini harus mandiri juga kalau dari dulu tempat mandiku mewah tanpa sedikitpun kekurangan air namun kali ini selalu merasa tidak puas karena untuk cuci mukapun harus berebutan dengan santri- santri yang lain. Mengurangi kepadatan saat antrian yang begitu banyak, aku sering memutuskan pergi ke sungai yang berada di sebelah selatan pondok. Begitulah kehidupan di sebuah pondok pesantren AL- HIDAYAT, yang berada di daerah kabupaten Pamekasan, sebuah kabupaten yang dikenal daerah pendidikan dari empat kabupaten di Madura.
Satu, dua, tiga hari, aku mulai tidak kerasan di pesantren itu. rasa gelisah, bosan dan lain sebagainya semakin menghantuiku. Semua yang tidak aku sukai saat berada di rumah menjadi sempurna di tempat guna belajar ilmu agama tersebut. Mulai shalat berjamaah lima waktu yang wajib bagi semua penghuni disana, mengaji kitab juga belajar baca al-quran yang sering menggangu tidur nyenyakku saat terdengar suara ummi membacanya dulu di rumah. Aku pun mulai memahami bahwa ilmu agama adalah hal yang selama ini aku benci. Ya. Aku sangat benci ilmu agama. Aku tidak mau belajar itu aku tidak mau belajar itu... aku tidak mau...
Telah aku putuskan bahwa aku tidak angin belajar ilmu agama itu. hingga akhirnya aku nekad kabur dari pondok pesantren AL-HIDAYAT tanpa memberi tau abah dan ummi juga pengurus pesantren yang selalu menindak santri yang tidak shalat berjemaah dan bolos mengaji kitab. Ini tempat iblis. Begitu batinku mengecam pesantren itu.
Semenjak itu kehidupanku berubah menjadi gelandangan yang hanya keluyuran di sepanjang jalan. Dan yang sering aku lakukan sebagai obat dari kegelisahan hati ini, aku selalu mampir di bar, meminum zat beralkohol itu dengan sebanyak banyaknya hingga membuat diriku jauh dari kendali pikiran normalku. Dan dalam pada itu, aku berjalan gontai menuju sebuah mesjid dengan tawa yang terus berbahak sembari memanggil nama Allah dengan tak karuan.
“Allah, dimana kau sekarang? ini aku sudah datang ingin bertemu kamu... hahha... dimana kau sekarang keluarlah!” ucapku lantang dalam mesjid itu. Tanpa menghiraukan tempat itu suci. Aku menginjakkan kaki dengan seenaknya tanpa melepas sandal yang entah telah berepa kali menyentuh barang najis. Akibat itulah aku dikroyok dan diseret massal oleh orang-orang sekampung. Hingga tubuhku tak berdaya.
Hidupku terasa berbeda setelah tinggal bersama kiai itu. hatiku damai dan tenang saat bertatapan dengannya. kata-katanya yang lemah lembut seakan menggetarkan jiwa, hatinya yang mulia bagai berlian yang mengkilau bagiku.
Indah. Sungguh, orang itu itu menyejukkan jiwa, bagai rinai hujan dalam kemarau hatiku.
Rasa ingin berguru pada orang berjubah putih itu mulai timbul. Ya. Dengan hadirnya rasa damai saat berada di dekatnya itu membuatku ingin belajar hidup padanya.
***
Tubuhku tidak bisa kugerakkan. Rasa sakit dan ngilu di sekujur tubuhku membuatku harus terbaring lama di ranjang tua pak kiai. Rasanya aku butuh waktu yang lama untuk bisa bergerak dan beraktivitas. Namun begitu aku harus segera sembuh lantaran agar tidak terlalu merepotkan kiai itu. seharusnya aku tidak mendapatkan pertolongan sebaik ini karena aku adalah orang yang telah mengkacaukan masyarakat sekampung. Nah itu yang membuatku harus belajar sesuatu dari kiai nan bijak itu.
“Sudahkah ada perkembangan dengan kondisimu, nduk?” tanya kiai itu menghampiri ranjang yang aku tempati.
“Terimakasih banyak kiai!” ucapku sambil berusaha bangun untuk meraih tangannya yang mulai keriput namun aku gagal melakukannya lantaran rasa sakit yang teramat sangat merantai tubuhku. Aku merasa sangat bersalah atas kejadian hari kemarin.
Aku ingin sekali mencium tangan orang tua itu dan meminta maaf padanya. namun aku masih belum bisa melakukan itu sepenuhnya. Aku hanya bisa menitikkan buliran air mata saat semua itu aku sadari.
“Berterima kasihlah pada Allah, nduk! ” ucap kiai itu membuatku tidak paham.
“Allah itu siapa kiai?” tanyaku antusia dengan kata yang satu itu.
Semenjak sebelumnya aku tidak pernah suka mendengar kata-kata itu. karena aku mengira dia hanya sebatas nama benda yang antik.
“Allah itu adalah tuhan semesta alam, dia yang menciptakan kita, serta mengendalikan semuanya, nduk! Berterimakasihlah padaNya, karena sesungguhnya, dia yang mengizinkanmu untuk berada di tempat ini” jelasnya panjang membuatku semakin paham tentang nama itu.
“Sedang apa dan dimana dia sekarang, kiai?” tanyaku selidik.
“Dia sekarang sedang mengidzinkan kita berdialog tentang-Nya, nduk. Dia tak berumah seperti kita, tak punya bapak dan ibu, tidak pula beranak! Dia tak bertempat, tapi dimana kita berada, dia mengetahuinya. Itulah tuhan kita Allah, nduk! ” ucapnya.
“kiai, ajarilah aku ilmu agama. Aku ingin kenal denganya!” kataku memohon. Aku merasa sangat berdosa padaNya karena lebih dari sering aku menyukutukan Allah. Aku ingin minta ampun dan bertaubat padaNya. aku merasa sangat berdosa padanya. Ya berdosa.
“tenangkan dulu kondisimu, nduk! Soal itu, aku sangat bersedia. Aku punya teman disana. dia adalah pakar agama yang pernah mengajariku ” ucap kiai itu padaku yang tergolek.
“kalau boleh tau siapa orangt itu, kiai?” tanyaku menyelidik.
“Dia adalah Hj. Mustofa, berkediaman kabupaten Sumenep”
Degg! Apa benar dia adalah abah?
***
EPILOG
Asyhada Allah Ilaha Illallah Wasyhadu Anna Muhammadurrasulullah...
Dengan hati yang tulus, tergumam dari suara nan lirih dari mulutku, disaksikan langit dan bumi, aku melafadzkan Syahadatain. Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad utusanNya.
Abah. Abah adalah guru agamaku yang memperkenalkan aku kepada Allah. Allahuakbar...(*)
|Banyuanyar |17 Februari 2015