Artikel || Opini || Catatan || Cerita || Puisi || Motivasi ¤ BERKARYA UNTUK SEMUA ¤

MALAM TAHUN BARU


2019. Tahun baru. Tak kala semua orang sibuk berbincang tentang rencana jalan ke alun alun kota dan pantai. Aku justru menganggapnya biasa. Bagiku, itu tidak lebih penting dari tidur malas di kamar atau duduk duduk menyeruput kopi hangat di ruang tamu rumah.

Bagiku, daripada pergi jalan jalan ke pantai, wisata air terjun atau tempat hiburan lainya, hanya dalam rangka merayakan tahun baru, lebih baik aku datang ke rumahmu saja meski hanya sekedar menjumpai keluargamu, lalu menyapa dan bertanya tentang kabarmu. Karena bagiku, itu jauh lebih menghibur daripada menyaksikan taburan petasan malam tahun baru.

Disaat orang orang berseru, betapa asyiknya di moment tahun baru ini jikalau kita adakan bakar bakar daging ayam, sambil lalu menunggu petasan diluncurkan. Aku justru berbeda haluan. Bagiku, ada yang lebih menarik dan baik untuk aku lakukan di moment itu, yaitu menjagamu agar kamu sama sekali tidak tahu suasana tahun baru yang jahat untuk wanita seukuran kamu. Aku berharap setelah melepas mukena, kamu tidur pulas hingga waktu shubuh memanggilmu.

Biarlah kamu tidak tau sama sekali suasana malam tahun baru. Karena malam itu sangat jahat dan siapa pun yang bangun di malam itu, semuanya jahat. Aku hanya ingin menjagamu dari semua makhluk jahat di malam itu.

Pun benda benda yang terikut menyaksikan malam itu berubah menjadi jahat apalagi makhluk bernyawa yang memang jahat. Semua jadi jahat. Aku takut kamu juga terikut jahat gara gara malam itu.

Biarkanlah aku menahan rasa kantuk hingga pagi, hanya untuk menjagamu dengan mimpi indahmu, karena malam sangat kejam di kesempatan itu.

Biarkanlah aku sendiri melawan serangan malam yang jahat untuk melindungimu. Aku rela memberikan segalanya demi kamu ; harta, benda, raga bahkan nyawaku untuk melindungimu tapi tidak apabila itu perasaanku padamu, karena ia terlalu indah untuk aku korbankan. Aku hanya ingin memberikannya kepadamu. Seorang!

Biarkanlah pula aku berkorban segala kesempatanku untukmu, untuk bermunajat kepada Tuhan, bahwa aku berharap kamu selalu menjadi wanita yang sholehah hingga surga nanti. Karena bagiku, kamu lah sebaik baik perhiasan di dunia dan akhiratku.

Malam tahun baru, selamat tidur untukmu, aku doakan semoga serangga serangga malam tersenyum melihat wajah manismu dan tidak mengganggu mimpi indahmu. Semoga dingding, jendela, dan pintu kamar setia menjagamu dari terkaman malam yang jahat. Bye bye!

| Jember | 29 Desember 2018 | 11.00 WIB. | Office|

Share:
Read More

ULANG TAHUNMU





Ada teman kirim salam padaku bahwa 30 Desember, tepat hari ini, adalah hari ulang tahunmu. Iya, pada tanggal itulah kata temanku kamu dilahirkan ke dunia nan indah ini.

Aku sedikit terkejut kenapa kamu tidak cerita cerita padaku tentang hari ulang tahunmu. Apa kamu sedang lupa tanggal itu lantaran terlalu sibuk dengan kegiatan belajarmu disana? Kamu tau, aku ingin ucapkan selamat dan memberikan kado special untukmu. Aku yakin kamu akan sangat bahagia jika pada hari itu aku datang membawa kue ulang tahun lalu bernyanyi sambil bertepuk tepuk tangan bersama adik adikmu.

Tapi sayang, semua itu hanya bisa aku bayangkan, karena jika itu bisa terjadi maka semua orang di sekelilingmu akan sangat membencimu. Ya, mereka sangat tidak ingin kamu dekat denganku apalagi menjadi kekasihku.

Jujur, aku ingin sekali merayakan hari ulang tahunmu bersama adik adik kita. Tapi tidaklah mungkin aku lalukan selagi banyak orang tau tentang itu.

Aku hanya bisa menulis kata kata tentang hari ulang tahunmu di buku harian, lalu aku simpan rapat rapat di dalam kotak bajuku tanpa ada seorang pun yang tau. Biarlah kamu tidak tau pula tentang tulisan itu, tapi suatu saat nanti kamu akan tau sendiri betapa berharganya dirimu lewat tulisan tulisanku.

Hari ulang tahunmu merupakan hari special untukku untuk berucap sebuah kata kata indah kepadamu meski lewat tulisan tulisan sederhana. Ya, aku memang selalu bisa merangkai kata kata jika itu untukmu. Apa karena mungkin segala keindahan di alam raya ini hanya ada dalam dirimu di mataku? Ah, semogalah kamu dipanjangkan umur dan sehat selalu, Amien!

Sebagai penutup dari tulisan ini, selain hanya bisa menulis tentang ulang tahunmu di buku harianku, aku juga sampaikan salam selamat ulang tahun lewat angin malam, semoga di usiamu yang ke 18 itu segala yang kamu inginkan dapat tercapai dan semoga Tuhan selalu memberkatimu. Amien!


|Jember | 30 Desember 2018 | 11.11 WIB. | Office|

Share:
Read More

PERTEMUANKU



Beberapa hari terakhir ini, aku tidak menjumpaimu di tempat biasa itu. Entahlah, aku hanya yakin, bahwa kita tidak bisa bertemu sebab libur dalam beberapa hari tempo ini. Bagiku, aktifitas boleh libur tapi tidak dengan perasaanku padamu.

Makanya, ketika aku tidak bisa bertemu kamu, aku hanya bisa membayangkanmu lewat awan yang berlalu lalang di bawah purnama malam. Ditambah desiran sayu angin malam yang merayu pikiranku. Lalu perlahan berubah menjadi pilu. Baru kali ini aku merasakan bentuk pilu yang sangat meresahkan, ketika aku hanya dapat melihatmu lewat bayang bayang.

Kamu tau, membayangkanmu membuatku gelisah. Lalu rasa gelisah itu meberontak tubuhku, memaksa kakiku untuk melangkah menuju tempat dimana kamu berdiam. Menemuimu dan melihat kamu tersenyum manis padaku.

Ya, ingin sekali aku bertemu kamu sekarang juga dan memandangi wajah meronamu yang biasa terbungkus jilbab motif bunga bunga. Namun aku tak bisa karena banyak sekali pertimbangan yang menawan diriku. Aku tak bisa. Aku sangat takut menggangu istirahat nyenyakmu, setelah seharian kamu sibuk belajar dan menyetor hafalan Al Qur an kepada gurumu.

Atau kalau aku menemuimu, mungkin saja orang orang membencimu karenaku.

Sejauh ini, aku tidak pernah bertemu dan duduk berdekatan denganmu, apalagi sampai berpegangan tangan. Tidak pernah. Pertemuanku denganmu hanya lewat pandangan jarak jauh yang terpisah pagar rumah. Biasanya kamu menyungingkan sekernyit senyum padaku, lalu dengan pelan kamu berpaling dan melanjutkan aktifitasmu. Itu hanya.

Namun, memandangi senyummu saja sudah sama seperti pertemuan orang orang pada lumrahnya. Bagiku, itu sudah pertemuan istimewa yang menurutku nilainya lebih dari sekedar bercengkrama. Itu artinya dirimu sangat berarti bagiku. Mengapa tidak, jika memandangmu saja aku merasa bagai melihat suasana surga, apalagi tentang perasaanmu padaku. Semua terasa indah saat yang kulihat adalah wajahmu. Begitulah jika perasaan yang menilai. Ya, perasaan!

Aku masih saja berharap bisa memandang wajah aslimu, bukan bayangan semu yang mengawang saat malam sunyi. Karena meski purnama pun yang datang menggantikanmu, rinduku padamu tidak akan bisa terobati dengan keindahannya. Hanya kamu seorang.

Makanya jika akhir akhir ini, kamu mendapati aku merenung diam, jangan tanya ada masalah apa, karena aku tidak akan menjawab apapun. Tapi jika kamu bertanya, apa yang aku inginkan, maka jawabku, ingin melihat senyum manismu. Dan Itu hanya.

| Jember. | 27 Desember 2018 | 09.23 WIB | Lt. II |

Share:
Read More

MELLEK POLITIK


Jember - Banyuwangi. Selama dalam perjalanan menghadiri Haul Akbar RKH. Abdul Hamid Baqir, pada tanggal 23 Desember itu, banyak sekali hal yang kami bicarakan dalam mobil yang berisi 7 penumpang itu. Namun tidak bagi Saya dan juga 2 temen saya yang merupakan penumpang golongan muda dimana kami hanya berdiam saja selama dalam perjalanan.

Bagi kami, menguping lebih baik daripada ikut menimbrung pembicaraan demi pembicaraan penumpang golongan tua, meskipun sebagian besar yang dibicarakannya kami sangat tau dan paham, ya, kami lebih update kalau seputar kabar di televisi dan media sosial, hanya saja kami merasa tidak baik jika diantara kami saling memotong pembicaraan.

Sepengupingan saya, dari awal hingga akhir perjalanan pulang, pembicaraan mereka lebih pada seputar politik, mulai dari partai partai yang balihonya terpampang di sepanjang jalan, kyai politik dan kyai nyeleneh yang saat ini viral, hingga pilpres yang suhunya tak kalah panas daripada tema viral lainnya.

Dalam benak, saya hanya terbesit bahwa kalau masyarakat golongan tua, sebangsa petani dan buruh tani saja sudah cerdas berbincang ihwal politik apalagi golongan muda, setingkat pelajar dan mahasiswa, yang setiap hari disibukan dengan kajian dan demonstrasi di jalan jalan, tentu lebih cerdas dan lebih paham tentang itu semua.

Saya yakin sekali, bahwa semua orang di berbagai lapisan masyarakat saat ini sudah pada cerdas dalam memahami dan menilai permainan politik, lantaran terlalu banyak berita berita politik dan juga tentang benda benda yang terpolitisasi yang setiap waktu memadati semua beranda media mainstrem dan sosial.

Maka dari itu, maklum, jikalau sebagian orang lebih memilih bermain mobile legend daripada membuka akun media sosial, yang setiap waktu berseleweran dengan berita politik dan politisasi, karena mereka sudah sangat jenuh menjumpainya.

Kita tau bahwa orang baik menjauhi politik itu tidak baik karena jika orang baik menjauhi politik maka orang tidak baik akan memegang kendali kekuasaan. Kalau sudah memegang kendali kekuasaan, maka semuanya harus ikut kebijakan pemangku kekuasaan, sekalipun kebijakan tersebut tidak berpihak pada kebaikan.

Masalahnya, dewasa ini permainan politik sudah sangat terkesan buruk di kalangan masyarakat. Tidak memiliki kepercayaan di mata masyarakat. Jadinya, masyarakat bingung ikut politik siapa, karena semuanya tampak buruk dan menakutkan, seolah se mulia apa pun jabatan si penggelut politik, ia ternilai tidak baik dengan kepentingannya, baik kelompok maupun pribadi.

Dengan itu, dalam catatan kecil ini, anggap saja saya seorang mederator yang mengumpulkan banyak pembahasan diantara banyak pembicara, lalu menyimpulkannya dalam suatu wacana, bahwa masyarakat mulai resah dengan permainan politik masa kini, dan butuh pembuktian baru siapa tokoh politik yang baik untuk bangsa besar kita.[]


| Jember | Office | 24 Desember 2018 | 17.00 WIB.|
Share:
Read More

DIARY TERAKHIR BUNDA

®M Siryi Zamil

Jangan menangis, sayang…
Ini hanyalah cobaan tuhan…
Hadapi semua dengan senyuman...
Dengan senyuman, dengan senyuman…
(st12)

***
Sore tanpa cahaya mentari. Entahlah… mengapa akhir-akhri ini suasana sore tak pernah munculkan seberkas kecerahan bagi penduduk di bumi? Kejadian ini muncul setelah kematian bunda tercinta berlalu. Ya… semenjak kematian bunda itulah suasana hari lebih sering murung, dan tak pernah menampakan senyum merekahnya kepada sang Bumi, yang setiap waktu mendambakannya.

Bumi pun menjadi sukar membiaskan keindahanya, kecuali buram yang semakin hari semakin menjadi-jadi, membuat semua yang bernyawa tidak bisa berpetualang dari habitatnya masing-masing. Mengapa tidak? jika mendung diatas sana tengah berarak dan berkeliaran, sebentar lagi ia akan luruh berupa kucuran air hujan. Ya…kucuran air hujan sebentar lagi akan segera turun, seperti rasa sedih dikelopak hati yang sebentar lagi pula menciptakan air mata.

Bunda, anakmu masih belum bisa mengubur kenangan itu, anakmu masih berharap untuk lebih lama lagi mengukir hidup bersamamu, Bunda,.. Sungguh hampa! Hidup terasa hampa, tanpa belaian kasih sayang Bunda, yang setiap saat menyertai hidup ini, hampa karena dongeng-dongeng pengatar tidur itu tak lagi mengalir seperti saat-saat bersama Bunda. Andaikan bunda bisa kembali seperti waktu-waktu sebelumnya itu, apapun akan aku lakukan hanya demi kenangan indah itu…tapi..,tapi..,hal itu tidak mungkin terjadi karena Bunda telah kembali ke rumah bunda yang asli.

Mengapa sesingkat ini Bunda pergi meninggalkan anakmu seorang? Tidak kasihanlah bunda kepada anakmu, yang kini mengukir hidup tanpa siap-siapa…

***
Huff…. Dengan segera, aku bangkit dari kursi tua itu, kursi yang selalu menghadirkan sebuah kenangan silam bersamanya, Bunda. Lantas Aku berlari menuju sebua ruangan yang tak berpenghuni lagi, itu adalah kamar Bunda yang sudah sekian hari kubiarkan kosong.

Dalam kamar yang ditinggal penghuninya itu, aku berdiri tegak. Mengitari semua yang terbentang disana; mulai dari atap kamar Bunda, dinding kamarnya yang berwarna putih, serta benda-benda yang berharga menurutku yang tertempel di sana sini, apalagi seperti halnya figura yang membingkai foto-foto Bunda bersamaku, membuat ingatanku semakin merindu akan kebersamaan itu. Bola mataku berkaca-kaca. Aku mengalihkan pandangan menuju ranjang, tempat, dimana Bunda  menghembuskan nafas terkhirnya di atas ranjang yang berkasur empuk itu, Aku alihkan lagi pandangan mataku kesebelah ranjang, sebuah tempat yang biasa bunda tempati, saat memakai muekena putihnya, tempat ibadah Bunda. Ya… tempat itu adalah dimana  bunda mendirikan Sholat…

Ya…Allah aku rindu Bunda….
Ah… Bunda yang cantik… Aku merindukanmu, Bunda! Saat mataku menangkap bayangannya seperti saat-saat biasanya. Ia masih tampak cantik dengan Mokena nan putih berkilau, Ia memutar sesungging senyum kearahku. Pasti senyum itu untukku… kubalas senyum merekah itu dengan senyum rinduku nan sayu.

“Aku rindu Bunda!” Teriakku sambil mendekap tubuh putihnya. Tapi..,tapi.., yang didekap sudah menghilang seketika. Entahlah kemana Ia pergi…? Aku hanya celingukan, mencari sesosok yang sangat kudambakan kehadiranya sebagai obat rindu, diiringi suara histeris yang menyeruak di sudut-sudut kamar. Aku ingin bersama Bunda!

Air mataku menitik, menahan sepotong rindu yang urung terobati. Ya Allah…tega bunda meninggalkanku…? Desahku dalam hati, lamat-lamat sebuah rasa hadir dikepalaku. Dan menggerakkan tubuh mungilku menuju laci, ya… dalam laci itu, Bunda yang sebiasa menaruh sesuatu. Penasaran! Entahlah… hal apa yang menghipnotis pikiranku saat itu. Aku benar-benar merasa digiring oleh mahluk ghaib saat melihat laci nan kecil itu. Lebih penasaran lagi setelah kutemukan sebuah buku kecil didalam laci itu.

Diary? Ya… buku itu adalah diary alias catatan yang menjadi teman saat Bunda mencurahkan isi hatinya. Dan hanya untuk kali ini saja, aku mengetahui teman curhat bunda. Dengan begitu penasaran, kata demi kata aku mulai membacanya…

29 Desember 2012…
Dear, Diary …

Mungkin catatan ini merupakan yang keterakhir kalinya yang  Bunda tuangkan ke dalam  Diary Bunda. Bunda rasa sudah cukup membekali seuatu kehidupan dengan apa yang tertoreh di dalam lembaran ini. Bunda titipkan sepotong pesan pada kertas ini, karena, selain kertas ini akan utuh. Kertas Ini juga merupakan satu-satunya sahabat setia yang bisa menyampaikan petuah-petuah Bunda kepada seseorang yang sangat disayang oleh Bunda.

Sebagai seorang bunda siapa yang tidak ingin melihat anaknya hidup bahagia? Bunda macam apapun mesti menginkan yang satu itu. Mengapa tidak? bukankah kasih sayang ibu kepada anaknya tak terhingga, dan tak harap kembali. Ia akan berkorban apapun dan tak pernah mengharapkan imbalan, sekecil atompun, tidak! tapi sayang Bunda tidak bisa memberi lebih tentang kebahagian karena di sisi lain ada yang lebih berharga dalam hidup ini, ia adalah jati diri kehidupan. Kau harus tau bagaimana jalan kehidupan yang sesungguhnya...

Dalam kehidupan ini, satu hal yang sangat penting dan tak bisa kita tinggalkan, ia adalah ikhtiyar dan doa. Selama kita masih dinyatakan hidup, jangan pernah menyerah dalam melakukan sesuatu! Teruslah lakukan usaha, karena berusaha adalah satu-satunya cara yang menjadi penawar dari segala tantangan kehidupan.

Lakukanlah usaha, jangan pernah menoleh dalam melangkah untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, meski kerikil tajam selalu mengiringi setiap langkah, karena memang sejatinya hidup demikian. Mengapa demikian? Bukannya hidup adalah tantangan yang harus kita lalui dengan begitu sukar. Yah, begitulah hidup!

Satu yang Bunda inginkan… jadilah orang sholeh atau sholehah. Yang setia mengirim berkarung-karung do’a untuk menciptakan senyum merekah Bunda di sana. Karena satu-satunya sahabat yang paling setia menemani Bunda di Alam sana adalah sepenggal do’a yang terlahir dari hati seorang anak yang sholeh atau sholehah.

Rasa sedih yang sejak tadi menyesak dalam benakku, kini pecah sudah dan sempurna menerobos melalui sel-sel saraf tubuh, membuat kedua mataku bersimbah air mata sungguh aku tak bisa menahannya. Untuk kali saja aku sempurna menangis, menimang sepotong rindu kepada Bunda tercinta.

Bunda… aku sangat merindukanmu….Aku Sangat menyangimu… Sungguh ku tak bisa berpijak hidup jika semuanya lepas dari pelukan manismu. Aku ingin hidup dan matiku bersamamu…Bunda… tapi… tapi, mengapa kau pergi jauh tinggalkan aku sendirian sesedih in?

***
Mendung yang berarak sejak tadi diatas sana luruh…dan  mengguyur seantero permukaan bumi(*)


|Banyuanyar, 26 Desember 2013

|Penulis adalah seorang pengelana yang terdampar di Bumi FLP R. Banyuanyar

Share:
Read More

NYANYIAN UNTUK BUNDA






®M Siryi Zamil

Bunda…
Sungguh sadis kau, Bun! Kemana saja Bunda pergi? Taukah bahwa tanpa Bunda,  hidupku menjadi sepi dan sunyi? Daripada aku ditinggal sendirian, mengapa Bunda tidak mengajakku saja ke tempat dimana Bunda berada?

Aku ingin hidup bersama Bunda dan ingin menghembuskan nafas terakhirku bersama Bunda. Tapi… dimana Bunda sekarang? Aku sangat merindukan Bunda. Meski aku tidak pernah  tau seperti apa rona wajah Bunda yang mungkin sangat anggun sekali laksana bulan yang menjadi penerang malam, aku ingin sekali berjumpa Bunda, sekalipun hanya dalam mimpi.

Namun, aku tidak tau tentang keberadaan Bunda… Ataupun takdir telah berkata lain bahwa hidupku harus seperti ini, tanpa seorang Bunda. Aku harus bagaimana?

***
Hidupku melanglang buana…
Waktu hanya terkubur tanpa sedikitpun rasa damai yang hinggap dalam hidupku. Hari-hariku hanya kulalui dengan penuh tanda tanya. “Siapa bundaku sebenarnya? Dimana dan bagaimana keadaannya? Apakah sekarang baik-baik saja?” Kucoba beranikan diri menanyakan hal itu kepada Ayah. Tapi, Ayah tidak pernah memberi jawaban yang pasti tentangnya. Ayah pun hanya geleng-geleng kepala, unclear! diraihnya kaca matanya lalu mengajakku berjalan-jalan di sekeliling pelataran rumah. Melihat rerimbunan pohon-pohon singkong yang begitu rindang dan subur sekali.

Kualihkan tanda tanya yang nyaris meledak di kepalaku itu kepada Ayunda. Ih! Ia malah  hanya mengatakan bahwa Bunda sedang pergi jauh ke suatu tempat. Entahlah dimana tempat itu. Sungguh bingung! Aku tak mengerti jawaban yang dilontarkannya.
“Dimana, sih, gerangan?” ucapku dalam hati.

Di sebuah rumah yang serba sederhana dan jauh dari ketidakcukupan, aku mengukir hidup bersama Ayah, Ayunda dan adikku yang masih berusia balita. Tanpa belaian seorang Bunda yang telah  melahirkan aku ke dunia fana ini. Sungguh sunyi rasanya menjalankan hidup sedemikian itu. Tapi, sudahlah! Ada baiknya, bahkan lebih baik jikalau dengan penuh lapang dada menerima semua itu.
Manusia hanya dapat berusaha tapi tuhanlah yang menentukan!

***
“Kasihan sekali Ayah...!”
Ia tak pernah mengenal lelah dan letih untuk mencari sepeser uang dan sesuap nasi demi kita semua di rumah. Bahkan, Ayah telah menyekolahkanku dan mencukupi semua kebutuhanku. Andaikan saja ada Bunda, pasti Ayah tak separah dan sekeras itu bekerja. Aku yakin Bunda rajin sekali dan sangat perhatian untuk mengurusi semuanya tentangku, juga kakak –adikku di rumah.

Tapi…
Alhamdulillah! Semuanya baik-baik saja dan bisa terurusi dengan baik hanya karena  jerih payah Ayah. Aku pun bisa menjalankan aktifitasku dengan baik. Andai Bunda tahu tentang semangat belajarku dan kerajinanku, mungkin Bunda akan menangis dengan tangisan haru.

“Bun… Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas lima. Kemaren, Ustadz sendiri yang memindahkanku ke kelas itu. Tidak hanya itu, Bunda pasti lebih haru dan lebih gembira lagi kalau Bunda tahu kejadian kemaren ketika diumumkan bahwa peraih bintang pelajar di madrasah adalah anak Bunda sendiri. Aku, Bun. Aku Rindu Bunda… Sungguh mengharukan. Bahkan, secercah air mata mengalir di pipi Ayah yang tak cembung lagi saat menjadi pendampingku bersama Kyai yang selalu menyuruhku untuk tabah dan sabar mengemban kehidupan nan nestapa ini. Aku pun juga melinangkan berbulir-bulir air mata dengan rasa haruku dalam belaian kasih sayang-nya.”

***
Guliran waktu begitu cepat, entahlah tentang kehidupan…

Ya  Allah…
Kasihanilah hambaMu ini! Hamba tak pernah henti mengingatMu dan berharap keserasian hidup dariMu. Tapi, tapi... mengapa Engkau malah melabuhkan tragedi yang sangat tidak diinginkan? Bukankah Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Dan selalu menyayangi  hambaMu yang patuh akan seluruh titah kuasaMu?

Ya Allah…
Tidak taukah Engkau bahwa hamba tak pernah mencicipi seperti apa manisnya kehidupan fana? Sungguh tega, Engkau membagikan semua ini padaku. Sampai kapan hidup ini berubah dengan perubahan yang tidak lagi nestapa? Atau mungkin, memang aku harus hidup untuk keterpurukan  ini...

Ya  Allah...
Sungguh aku tak rela dengan sosok tubuh yang tengah terbaring di atas ranjang itu yang sesaat lagi akan dikafankan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Ia adalah seseorang yang sejak dulu mengajariku seperti apa sejatinya kehidupan. Mengajariku tentang bagaimana berpijak hidup yang sesungguhnya, meskipun hidup bagiku adalah neraka yang mengekang dan menerkam.

Ya Allah…
Tidak taukah Engkau bahwa semenjak aku menghirup udara fanaMu ini, hidupku tidak bisa dikatakan bertepuk tangan. Hidup yang menurutku ada rasa kehilangan, kehilangan seorang Bunda yang telah melahirkanku ke alamMu ini. Dan kini, malah kau mezadahnya. Sungguh, hidup ini tambah sengsara, sengsara yang tiada tara. Tidak kasihankah Engkau kepada hambamu ini? Mana Maha PengasihMu? Mana Maha PenyayangMu? Ataukah semua itu hanya lantunan belaka?

***
Yah...
Aku sangat cinta Ayah...
Aku sangat rindu Ayah...
Dan aku sangat kasihan sekali sama Ayah...

Yah...
Baru aku sadar setelah kepergian Ayah untuk selamanya bahwa begitu banyak kemungkaran yang telah kuperbuat kepada Ayah. Aku mohon, maafkanlah aku, Yah... Maafkan, Aku tidak bisa  berbuat apa…

Aku hanya seorang hamba biasa yang hanya bisa menitikkan air mata atas tragedi ini. Aku sangat menyesal, Yah...

Sejak dulu, aku tak pernah menghiraukan seruan Ayah dan nasehat Ayah. Bahkan,  selalu membiarkan Ayah pergi membanting tulang sendirian. Ketika itu Ayah mendaki gunung dan di sanalah Ayah banyak menemukan benda-benda berharga untuk kebutuhan kita di rumah. Benar, kan, Yah...

Andaikan aku sudah tahu bahwa Ayah akan dipatuk seekor ular kemarin hari, pasti aku akan menemani Ayah untuk memberi tahu bahwa ada seekor ular yang siap mematuk betis Ayah. Kemudian membantu Ayah mencari umbi-umbian. Tapi kini, tidaklah waktu kembali mengulangnya, sekalipun aku ingin mengundurnya kembali. Sia-sia hanya.

Sekali lagi, Yah…
Aku mohon, maafkanlah aku! Sejak dulu aku hidup hanya merepotkan dan menggelisahkan Ayah. Ketika Ayah harus menyekolahkanku, ketika Ayah harus membelikan seragam untukku dan ketika aku meminta uang saku dengan paksa pada Ayah setiap aku hendak berangkat sekolah. Sungguh banyak kuantitas dosa yang telah aku timbunkan pada diri Ayah selama itu. Dan kini, aku tidak dapat berbuat apa-apa atas kelancangan itu, yah…! Aku hanya bisa menyadarinya saat tragedi itu sudah berlalu.

Yah...
Tanpa Ayah, aku merasa sepi dan sunyi. Bahkan, aku tak bisa menentukan mau melangkah ke mana aku mencari hidup? Tapi, bukan berarti aku tidak memiliki impian untuk melatarbelakangi hidup ini. Sekarang aku sudah lulus sekolah dasar, tinggal melanjutkan saja pada jenjang yang lebih tinggi. Tapi sayang, Yah! Aku tidak punya siapa-siapa untuk membiayai sekolahku suatu saat nanti. Yang pasti, aku tidak bisa melanjutkan impian itu,meski targetku sendiri paling tidak harus menyelesaikan Aliyah.

Ya, dulu, ketika ada Ayah, Ayah sendiri yang mengurusi semuanya. Tapi untuk saat ini, siapa lagi yang akan menggantikan posisi Ayah? Memang masih ada Ayunda. Tapi, ia sudah memiliki tanggung jawab lain yang tidak boleh dilalaikan, apalagi ditinggalkan. Ia sudah berkeluarga dan sebentar lagi ia akan melahirkan belahan jiwanya. Keluarga kita akan bertambah. Ayah senang, kan?

Tapi… tapi… kapan Bunda akan kembali untuk menjadi pengganti Ayah. Kata Ayunda, dua tahun yang lalu, Bunda masih pergi ke suatu tempat. Entahlah dimana tempat itu. Aku masih belum sempat menanyakan kembali kepadanya. Semoga Bunda baik-baik saja dan segera kembali untukku. Ya, kan, Yah? Amien!

***
EPILOG
Setelah semuanya jelas terungkap…

“Tidak ! Semua itu tidak mungkin ! Tidak mungkin!” Aku tidak peduli kalau Bunda telah pergi jauh sebagaimana Ayah. Aku belum bertemu Bunda. Aku masih belum melihat wajahnya sedikitpun. Jika memang Bunda telah pergi, mengapa harus sekarang Ayunda mengungkapkan semua itu padaku? Mengapa tidak dulu saja ketika aku selalu bertanya-tanya tentang Bunda? Mengapa...?

Sungguh perih sekali hati ini, Yun! Yang masih terbengkalai untuk kutangisi lantaran harus menambah lagi kesedihan yang sangat menyakitkan. Untuk apa semua itu bagiku, Yun? Kuhanya semakin resah dan bersedih. Hati ini hancur sudah dengan tragedi Ayah.

Aku benar-benar benci kau, adikku...! Kau adalah penyebab atas kematian Bunda saat Bunda melahirkanmu. Kau Kejam!  Sungguh kejam dirimu, Adikku...

Mulai detik ini, aku tidak mau menganggap engkau sebagai adikku lagi. Justru kau adalah musuhku yang nyata selamanya. Begitulah kisah masa laluku saat sedih membelenggu. (*)

|Pamekasan, 27 maret 2013
Share:
Read More

KATA ORANG, TUBUHKU BERBENTUK TIKUS


Sudah terlalu sering aku mencoba mengeluh, mengeluh sebab tubuhku yang tidak nyaman; bau, gatal, gersang dan segala macam rasa yang tidak seperti biasanya aku rasakan. Aku benci tubuhku sendiri. Aku muak. Andai ruhku bisa aku pindah ke jazad lain, akan aku pindah. Aku benar-benar tidak betah dan tidak kerasan bertahan dalam tubuhku.

“Duhai orang yang menyihir tubuhku, kembalikan tubuhku akan sedia kala. Kembalikan!” Hanya kalimat itulah yang sering aku lontarkan dengan nada suara berangku. Namun seolah tiada seorangpun yang mendengar jeritanku. Aku pun hanya bisa menangis, sebab aku tidak ingin tubuhku menjadi aneh, yang kecil seukuran kaki manusia, bahkan bisa saja aku terkena injak kaki manusia kalau mereka tidak melihatku.

Aku tidak tau siapa yang membuat tubuhku begitu. Tapi sebelum tubuhku benar-benar berubah menjadi kecil seperti saat ini. Aku sempat mendengar lengkingan suara dari kamar sebelah, di rumahku. Kata orang suara seperti itu merdu, indah, enak didengar atau bahkan menyejukkan hati. Tapi tidak bagiku, aku sangat benci suara itu, sebab suara itu sering mengganggu ketenanganku. Aku memang sangat kenal pada suara itu, suara yang sering kali membuat diriku gelisah. Kau tau suara apa gerangan?  Ia adalah suara bacaan Al Qur'an yang dibacakan ibuku. Hampir setiap sore, suara itu terdengar, menganggu aktivitas dan ketenanganku. Ya, suara itu mengganggu aktivitasku, mengganggu saat aku sedang menelpon kekasihku, atau saat aku menonton televisi dengan asyiknya.

Kebetulan, waktu itu aku tengah serius dan tidak bisa diganggu oleh siapapun, karena aku sedang asyik Chatting-an dengan kekasihku. Tapi suara itu yang terus menggangguku. Aku berang. Lalu aku bangkit dan beranjak dari ranjang empukku, mendatangi suara itu di kamar ibu yang bersebelahan dengan kamarku. Ibu sedang membaca Al-Quran. Aku melihatnya dengan penuh amarah, dan memarahinya.

“Bu, hentikan bacaanya!” Sergahku dengan nada keras. Lalu, aku ambil kitab Al-Quran yang seukuran kantong saku Itu. dan dilemparnya ke luar jendela. Ibuku terperangah, memaku. Dia hanya geleng-geleng kepala, didengarnya kata Astsghfirullah!dari mulut manisnya. Aku yakin, dia berpikir mengapa aku berani-beraninya melempar Al-Quran kecil itu keluar jendela. Bukannya semua orang, termasuk aku memulyakan kitab suci itu? tak banyak basa-basi lagi, beranjaklah aku  menuju ranjang yang menjadi tempat favoritku, dan kembali memebaringkan tubuh, ditemani BB-ku .

Dan sejak itulah tubuhku terasa ringan dan terasa mungil diatas ranjang empukku yang lapang itu. Akupun menjadi gelisah, bahkan menangis, memanggil –manggil “Ada apa dengan tubuhku? ”. Aku kekacauan dalam kamarku itu sendiri. Lebih lagi saat tampak jelas bahwa kulitku berbulu abu-abu, dan berbuntut halus nan panjang. Ih! Aku sendiri jijik melihatnya. Aku tidak ingin kulit hina itu adalah kulitku yang sebenarnya. Tapi, kulit itu melekat di tubuhku. Ya, kulit itu benar-benar menjadi milikku. Entahlah apa penyebabnya? Makanan? Tidak! aku selalu makan makanan yang  bergizi dan bervitamin. Ataupun  ini adalah  Kerama Ibu. Karena kata orang seorang ibu itu menyimpan banyak kebohongan, yang membuat dirinya mulya bagi seorang anaknya. Maafkan aku, ibu, anakmu!

Ada banyak orang di rumahku. Para Tetangga, Mereka mendatangi rumahku, karena hanya mau melihat keadaanku yang sedemikian itu.  aku tidak apa mereka mau menjengukku atau hanya menonton tubuhku yang aneh itu saja. aku menjadi malu, saat melihat mereka yang menutup hidung, dan mendengus jijik, seakan tidak suka dengan keberadaanku yang seperti itu.  mungkin karena tubuhku bau, atau menjijikan baginya.

Sebenarnya aku ingin sekali menjauh dari pandangan mereka, tapi, tubuhku, tubuhku seakan tak bertenaga, aku merasa malas sekali untuk dapat beringsut dan bersembunyi di balik Soprei di atas ranjang itu.

Lagi-lagi aku merasa malu, sangat teramat malu, saat semua yang menyaksikanku berkata bahwa tubuhku mirip binatang buronan orang-orang rumah, lantaran selalu mencuri hasil panen mereka. Ya, makhluk sepertiku yang selalu mencuri makan seperti gandum, jagung, padi milik kaum petani.

Kata orang, tubuhku mirip sekali dengan Tikus. Hah Tikus???


|Ef-El-Pe- Sepuluh*)
|Lantai II, Serambi Masjid | 06 Maret 2014
Share:
Read More