®M Siryi Zamil
Bunda…
Sungguh sadis kau, Bun! Kemana saja Bunda pergi? Taukah bahwa tanpa Bunda, hidupku menjadi sepi dan sunyi? Daripada aku ditinggal sendirian, mengapa Bunda tidak mengajakku saja ke tempat dimana Bunda berada?
Aku ingin hidup bersama Bunda dan ingin menghembuskan nafas terakhirku bersama Bunda. Tapi… dimana Bunda sekarang? Aku sangat merindukan Bunda. Meski aku tidak pernah tau seperti apa rona wajah Bunda yang mungkin sangat anggun sekali laksana bulan yang menjadi penerang malam, aku ingin sekali berjumpa Bunda, sekalipun hanya dalam mimpi.
Namun, aku tidak tau tentang keberadaan Bunda… Ataupun takdir telah berkata lain bahwa hidupku harus seperti ini, tanpa seorang Bunda. Aku harus bagaimana?
***
Hidupku melanglang buana…
Waktu hanya terkubur tanpa sedikitpun rasa damai yang hinggap dalam hidupku. Hari-hariku hanya kulalui dengan penuh tanda tanya. “Siapa bundaku sebenarnya? Dimana dan bagaimana keadaannya? Apakah sekarang baik-baik saja?” Kucoba beranikan diri menanyakan hal itu kepada Ayah. Tapi, Ayah tidak pernah memberi jawaban yang pasti tentangnya. Ayah pun hanya geleng-geleng kepala, unclear! diraihnya kaca matanya lalu mengajakku berjalan-jalan di sekeliling pelataran rumah. Melihat rerimbunan pohon-pohon singkong yang begitu rindang dan subur sekali.
Kualihkan tanda tanya yang nyaris meledak di kepalaku itu kepada Ayunda. Ih! Ia malah hanya mengatakan bahwa Bunda sedang pergi jauh ke suatu tempat. Entahlah dimana tempat itu. Sungguh bingung! Aku tak mengerti jawaban yang dilontarkannya.
“Dimana, sih, gerangan?” ucapku dalam hati.
Di sebuah rumah yang serba sederhana dan jauh dari ketidakcukupan, aku mengukir hidup bersama Ayah, Ayunda dan adikku yang masih berusia balita. Tanpa belaian seorang Bunda yang telah melahirkan aku ke dunia fana ini. Sungguh sunyi rasanya menjalankan hidup sedemikian itu. Tapi, sudahlah! Ada baiknya, bahkan lebih baik jikalau dengan penuh lapang dada menerima semua itu.
Manusia hanya dapat berusaha tapi tuhanlah yang menentukan!
***
“Kasihan sekali Ayah...!”
Ia tak pernah mengenal lelah dan letih untuk mencari sepeser uang dan sesuap nasi demi kita semua di rumah. Bahkan, Ayah telah menyekolahkanku dan mencukupi semua kebutuhanku. Andaikan saja ada Bunda, pasti Ayah tak separah dan sekeras itu bekerja. Aku yakin Bunda rajin sekali dan sangat perhatian untuk mengurusi semuanya tentangku, juga kakak –adikku di rumah.
Tapi…
Alhamdulillah! Semuanya baik-baik saja dan bisa terurusi dengan baik hanya karena jerih payah Ayah. Aku pun bisa menjalankan aktifitasku dengan baik. Andai Bunda tahu tentang semangat belajarku dan kerajinanku, mungkin Bunda akan menangis dengan tangisan haru.
“Bun… Sekarang aku sudah duduk di bangku kelas lima. Kemaren, Ustadz sendiri yang memindahkanku ke kelas itu. Tidak hanya itu, Bunda pasti lebih haru dan lebih gembira lagi kalau Bunda tahu kejadian kemaren ketika diumumkan bahwa peraih bintang pelajar di madrasah adalah anak Bunda sendiri. Aku, Bun. Aku Rindu Bunda… Sungguh mengharukan. Bahkan, secercah air mata mengalir di pipi Ayah yang tak cembung lagi saat menjadi pendampingku bersama Kyai yang selalu menyuruhku untuk tabah dan sabar mengemban kehidupan nan nestapa ini. Aku pun juga melinangkan berbulir-bulir air mata dengan rasa haruku dalam belaian kasih sayang-nya.”
***
Guliran waktu begitu cepat, entahlah tentang kehidupan…
Ya Allah…
Kasihanilah hambaMu ini! Hamba tak pernah henti mengingatMu dan berharap keserasian hidup dariMu. Tapi, tapi... mengapa Engkau malah melabuhkan tragedi yang sangat tidak diinginkan? Bukankah Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Dan selalu menyayangi hambaMu yang patuh akan seluruh titah kuasaMu?
Ya Allah…
Tidak taukah Engkau bahwa hamba tak pernah mencicipi seperti apa manisnya kehidupan fana? Sungguh tega, Engkau membagikan semua ini padaku. Sampai kapan hidup ini berubah dengan perubahan yang tidak lagi nestapa? Atau mungkin, memang aku harus hidup untuk keterpurukan ini...
Ya Allah...
Sungguh aku tak rela dengan sosok tubuh yang tengah terbaring di atas ranjang itu yang sesaat lagi akan dikafankan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Ia adalah seseorang yang sejak dulu mengajariku seperti apa sejatinya kehidupan. Mengajariku tentang bagaimana berpijak hidup yang sesungguhnya, meskipun hidup bagiku adalah neraka yang mengekang dan menerkam.
Ya Allah…
Tidak taukah Engkau bahwa semenjak aku menghirup udara fanaMu ini, hidupku tidak bisa dikatakan bertepuk tangan. Hidup yang menurutku ada rasa kehilangan, kehilangan seorang Bunda yang telah melahirkanku ke alamMu ini. Dan kini, malah kau mezadahnya. Sungguh, hidup ini tambah sengsara, sengsara yang tiada tara. Tidak kasihankah Engkau kepada hambamu ini? Mana Maha PengasihMu? Mana Maha PenyayangMu? Ataukah semua itu hanya lantunan belaka?
***
Yah...
Aku sangat cinta Ayah...
Aku sangat rindu Ayah...
Dan aku sangat kasihan sekali sama Ayah...
Yah...
Baru aku sadar setelah kepergian Ayah untuk selamanya bahwa begitu banyak kemungkaran yang telah kuperbuat kepada Ayah. Aku mohon, maafkanlah aku, Yah... Maafkan, Aku tidak bisa berbuat apa…
Aku hanya seorang hamba biasa yang hanya bisa menitikkan air mata atas tragedi ini. Aku sangat menyesal, Yah...
Sejak dulu, aku tak pernah menghiraukan seruan Ayah dan nasehat Ayah. Bahkan, selalu membiarkan Ayah pergi membanting tulang sendirian. Ketika itu Ayah mendaki gunung dan di sanalah Ayah banyak menemukan benda-benda berharga untuk kebutuhan kita di rumah. Benar, kan, Yah...
Andaikan aku sudah tahu bahwa Ayah akan dipatuk seekor ular kemarin hari, pasti aku akan menemani Ayah untuk memberi tahu bahwa ada seekor ular yang siap mematuk betis Ayah. Kemudian membantu Ayah mencari umbi-umbian. Tapi kini, tidaklah waktu kembali mengulangnya, sekalipun aku ingin mengundurnya kembali. Sia-sia hanya.
Sekali lagi, Yah…
Aku mohon, maafkanlah aku! Sejak dulu aku hidup hanya merepotkan dan menggelisahkan Ayah. Ketika Ayah harus menyekolahkanku, ketika Ayah harus membelikan seragam untukku dan ketika aku meminta uang saku dengan paksa pada Ayah setiap aku hendak berangkat sekolah. Sungguh banyak kuantitas dosa yang telah aku timbunkan pada diri Ayah selama itu. Dan kini, aku tidak dapat berbuat apa-apa atas kelancangan itu, yah…! Aku hanya bisa menyadarinya saat tragedi itu sudah berlalu.
Yah...
Tanpa Ayah, aku merasa sepi dan sunyi. Bahkan, aku tak bisa menentukan mau melangkah ke mana aku mencari hidup? Tapi, bukan berarti aku tidak memiliki impian untuk melatarbelakangi hidup ini. Sekarang aku sudah lulus sekolah dasar, tinggal melanjutkan saja pada jenjang yang lebih tinggi. Tapi sayang, Yah! Aku tidak punya siapa-siapa untuk membiayai sekolahku suatu saat nanti. Yang pasti, aku tidak bisa melanjutkan impian itu,meski targetku sendiri paling tidak harus menyelesaikan Aliyah.
Ya, dulu, ketika ada Ayah, Ayah sendiri yang mengurusi semuanya. Tapi untuk saat ini, siapa lagi yang akan menggantikan posisi Ayah? Memang masih ada Ayunda. Tapi, ia sudah memiliki tanggung jawab lain yang tidak boleh dilalaikan, apalagi ditinggalkan. Ia sudah berkeluarga dan sebentar lagi ia akan melahirkan belahan jiwanya. Keluarga kita akan bertambah. Ayah senang, kan?
Tapi… tapi… kapan Bunda akan kembali untuk menjadi pengganti Ayah. Kata Ayunda, dua tahun yang lalu, Bunda masih pergi ke suatu tempat. Entahlah dimana tempat itu. Aku masih belum sempat menanyakan kembali kepadanya. Semoga Bunda baik-baik saja dan segera kembali untukku. Ya, kan, Yah? Amien!
***
EPILOG
Setelah semuanya jelas terungkap…
“Tidak ! Semua itu tidak mungkin ! Tidak mungkin!” Aku tidak peduli kalau Bunda telah pergi jauh sebagaimana Ayah. Aku belum bertemu Bunda. Aku masih belum melihat wajahnya sedikitpun. Jika memang Bunda telah pergi, mengapa harus sekarang Ayunda mengungkapkan semua itu padaku? Mengapa tidak dulu saja ketika aku selalu bertanya-tanya tentang Bunda? Mengapa...?
Sungguh perih sekali hati ini, Yun! Yang masih terbengkalai untuk kutangisi lantaran harus menambah lagi kesedihan yang sangat menyakitkan. Untuk apa semua itu bagiku, Yun? Kuhanya semakin resah dan bersedih. Hati ini hancur sudah dengan tragedi Ayah.
Aku benar-benar benci kau, adikku...! Kau adalah penyebab atas kematian Bunda saat Bunda melahirkanmu. Kau Kejam! Sungguh kejam dirimu, Adikku...
Mulai detik ini, aku tidak mau menganggap engkau sebagai adikku lagi. Justru kau adalah musuhku yang nyata selamanya. Begitulah kisah masa laluku saat sedih membelenggu. (*)
|Pamekasan, 27 maret 2013