Jangan menangis, sayang…
Ini hanyalah cobaan tuhan…
Hadapi semua dengan senyuman...
Dengan senyuman, dengan senyuman…
(st12)
***
Sore tanpa cahaya mentari. Entahlah… mengapa akhir-akhri ini suasana sore tak pernah munculkan seberkas kecerahan bagi penduduk di bumi? Kejadian ini muncul setelah kematian bunda tercinta berlalu. Ya… semenjak kematian bunda itulah suasana hari lebih sering murung, dan tak pernah menampakan senyum merekahnya kepada sang Bumi, yang setiap waktu mendambakannya.
Bumi pun menjadi sukar membiaskan keindahanya, kecuali buram yang semakin hari semakin menjadi-jadi, membuat semua yang bernyawa tidak bisa berpetualang dari habitatnya masing-masing. Mengapa tidak? jika mendung diatas sana tengah berarak dan berkeliaran, sebentar lagi ia akan luruh berupa kucuran air hujan. Ya…kucuran air hujan sebentar lagi akan segera turun, seperti rasa sedih dikelopak hati yang sebentar lagi pula menciptakan air mata.
Bunda, anakmu masih belum bisa mengubur kenangan itu, anakmu masih berharap untuk lebih lama lagi mengukir hidup bersamamu, Bunda,.. Sungguh hampa! Hidup terasa hampa, tanpa belaian kasih sayang Bunda, yang setiap saat menyertai hidup ini, hampa karena dongeng-dongeng pengatar tidur itu tak lagi mengalir seperti saat-saat bersama Bunda. Andaikan bunda bisa kembali seperti waktu-waktu sebelumnya itu, apapun akan aku lakukan hanya demi kenangan indah itu…tapi..,tapi..,hal itu tidak mungkin terjadi karena Bunda telah kembali ke rumah bunda yang asli.
Mengapa sesingkat ini Bunda pergi meninggalkan anakmu seorang? Tidak kasihanlah bunda kepada anakmu, yang kini mengukir hidup tanpa siap-siapa…
***
Huff…. Dengan segera, aku bangkit dari kursi tua itu, kursi yang selalu menghadirkan sebuah kenangan silam bersamanya, Bunda. Lantas Aku berlari menuju sebua ruangan yang tak berpenghuni lagi, itu adalah kamar Bunda yang sudah sekian hari kubiarkan kosong.
Dalam kamar yang ditinggal penghuninya itu, aku berdiri tegak. Mengitari semua yang terbentang disana; mulai dari atap kamar Bunda, dinding kamarnya yang berwarna putih, serta benda-benda yang berharga menurutku yang tertempel di sana sini, apalagi seperti halnya figura yang membingkai foto-foto Bunda bersamaku, membuat ingatanku semakin merindu akan kebersamaan itu. Bola mataku berkaca-kaca. Aku mengalihkan pandangan menuju ranjang, tempat, dimana Bunda menghembuskan nafas terkhirnya di atas ranjang yang berkasur empuk itu, Aku alihkan lagi pandangan mataku kesebelah ranjang, sebuah tempat yang biasa bunda tempati, saat memakai muekena putihnya, tempat ibadah Bunda. Ya… tempat itu adalah dimana bunda mendirikan Sholat…
Ya…Allah aku rindu Bunda….
Ah… Bunda yang cantik… Aku merindukanmu, Bunda! Saat mataku menangkap bayangannya seperti saat-saat biasanya. Ia masih tampak cantik dengan Mokena nan putih berkilau, Ia memutar sesungging senyum kearahku. Pasti senyum itu untukku… kubalas senyum merekah itu dengan senyum rinduku nan sayu.
“Aku rindu Bunda!” Teriakku sambil mendekap tubuh putihnya. Tapi..,tapi.., yang didekap sudah menghilang seketika. Entahlah kemana Ia pergi…? Aku hanya celingukan, mencari sesosok yang sangat kudambakan kehadiranya sebagai obat rindu, diiringi suara histeris yang menyeruak di sudut-sudut kamar. Aku ingin bersama Bunda!
Air mataku menitik, menahan sepotong rindu yang urung terobati. Ya Allah…tega bunda meninggalkanku…? Desahku dalam hati, lamat-lamat sebuah rasa hadir dikepalaku. Dan menggerakkan tubuh mungilku menuju laci, ya… dalam laci itu, Bunda yang sebiasa menaruh sesuatu. Penasaran! Entahlah… hal apa yang menghipnotis pikiranku saat itu. Aku benar-benar merasa digiring oleh mahluk ghaib saat melihat laci nan kecil itu. Lebih penasaran lagi setelah kutemukan sebuah buku kecil didalam laci itu.
Diary? Ya… buku itu adalah diary alias catatan yang menjadi teman saat Bunda mencurahkan isi hatinya. Dan hanya untuk kali ini saja, aku mengetahui teman curhat bunda. Dengan begitu penasaran, kata demi kata aku mulai membacanya…
29 Desember 2012…
Dear, Diary …
Mungkin catatan ini merupakan yang keterakhir kalinya yang Bunda tuangkan ke dalam Diary Bunda. Bunda rasa sudah cukup membekali seuatu kehidupan dengan apa yang tertoreh di dalam lembaran ini. Bunda titipkan sepotong pesan pada kertas ini, karena, selain kertas ini akan utuh. Kertas Ini juga merupakan satu-satunya sahabat setia yang bisa menyampaikan petuah-petuah Bunda kepada seseorang yang sangat disayang oleh Bunda.
Sebagai seorang bunda siapa yang tidak ingin melihat anaknya hidup bahagia? Bunda macam apapun mesti menginkan yang satu itu. Mengapa tidak? bukankah kasih sayang ibu kepada anaknya tak terhingga, dan tak harap kembali. Ia akan berkorban apapun dan tak pernah mengharapkan imbalan, sekecil atompun, tidak! tapi sayang Bunda tidak bisa memberi lebih tentang kebahagian karena di sisi lain ada yang lebih berharga dalam hidup ini, ia adalah jati diri kehidupan. Kau harus tau bagaimana jalan kehidupan yang sesungguhnya...
Dalam kehidupan ini, satu hal yang sangat penting dan tak bisa kita tinggalkan, ia adalah ikhtiyar dan doa. Selama kita masih dinyatakan hidup, jangan pernah menyerah dalam melakukan sesuatu! Teruslah lakukan usaha, karena berusaha adalah satu-satunya cara yang menjadi penawar dari segala tantangan kehidupan.
Lakukanlah usaha, jangan pernah menoleh dalam melangkah untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, meski kerikil tajam selalu mengiringi setiap langkah, karena memang sejatinya hidup demikian. Mengapa demikian? Bukannya hidup adalah tantangan yang harus kita lalui dengan begitu sukar. Yah, begitulah hidup!
Satu yang Bunda inginkan… jadilah orang sholeh atau sholehah. Yang setia mengirim berkarung-karung do’a untuk menciptakan senyum merekah Bunda di sana. Karena satu-satunya sahabat yang paling setia menemani Bunda di Alam sana adalah sepenggal do’a yang terlahir dari hati seorang anak yang sholeh atau sholehah.
Rasa sedih yang sejak tadi menyesak dalam benakku, kini pecah sudah dan sempurna menerobos melalui sel-sel saraf tubuh, membuat kedua mataku bersimbah air mata sungguh aku tak bisa menahannya. Untuk kali saja aku sempurna menangis, menimang sepotong rindu kepada Bunda tercinta.
Bunda… aku sangat merindukanmu….Aku Sangat menyangimu… Sungguh ku tak bisa berpijak hidup jika semuanya lepas dari pelukan manismu. Aku ingin hidup dan matiku bersamamu…Bunda… tapi… tapi, mengapa kau pergi jauh tinggalkan aku sendirian sesedih in?
***
Mendung yang berarak sejak tadi diatas sana luruh…dan mengguyur seantero permukaan bumi(*)
|Banyuanyar, 26 Desember 2013
|Penulis adalah seorang pengelana yang terdampar di Bumi FLP R. Banyuanyar
No comments:
Post a Comment