MENUKAR JAM WAJIB AKHIRAT DENGAN PIALA DUNIA
Piala Dunia, kata tersebut mengingatkan saya pada 4 tahun yang lalu (2014). Waktu itu saya masih berstatus santri aktif. Kami yang hidup dengan penuh undang-undang dan peraturan hanya dapat menyaksikan momentum perhelatan sepak bola via suara Radio saja, yang diputar di koperasi pesantren. Ya, hanya sebatas suara, yang terkadang tidak terang terdengar. Sesekali kami berteriak dan saling menghujat ketika terdengar suara goal dari Radio tersebut. Rasanya sangat sederhana bagi kami (santri muluk. wak) untuk mencuri info skore dan prosesi pertandingan.
Berbeda dengan sebagian santri yang memaksa keluar pondok (melanggar) sampai menonton ke cafe atau layar lebar di kota. Mereka rela mengorbankan kewajibannya sebagai santri demi Piala Dunia, bahkan merelakan kepercayaan terhadap para ustadz. Banyak santri sebagai tangan kanan asatidz juga dikenakan sanksi, digundul habis rambutnya lalu diberdirikan di khalayak umum lantaran cintanya pada sepak bola.
Bagi para penggemar sepak bola, Piala Dunia memang seolah menjadi perhelatan akbar yg tak boleh dilalaikan. Setiap grup kebanggaan mereka menjadi simbol semangat dan perjuangan yg selalu dibela.
Piala Dunia seolah mengubah jam jam istirahat menjadi jam jam sibuk dengan kopi, camilan, dan rokok yg setia menemani pemirsa dimana pun mereka berada. Shalat pun harus ditunda, atau dibatalkan atau bahkan ditinggalkan. Demi menyaksikan aksi striker idola dan penjaga gawang pujaan.
Sepak terjang wasit telah mengalahkan ustadz yg mengisi kajian. Ocehan presenter pun lebih menarik daripada alunan suara imam dan mu’adzin yg membelah suasana dan menyejukkan jiwa. Bola yg menggelinding dan ditendang kesana-kemari seolah telah menjadi magnet berkekuatan dahsyat yg mampu menarik kelopak mata jutaan pemirsa sehingga lupa dari tidur dan istirahatnya.
Lapangan hijau telah menarik jutaan pasang mata untuk terus memantau siaran siaran langsung atau kalau terpaksa ya siaran tunda, jauh lebih menarik dan lebih membuat menyala semangat daripada lembaran lembaran mushaf atau buku buku agama.
Jebolan bola ke gawang telah menjadi pertunjukan luar biasa yang memalingkan orang dari berdzikir kepada Allah dan menghiasi lidah dengan taubat dan istighfar kepada-Nya.
Rasulullah SAW. bersabda,
“Ada 3 perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada dirinya maka dia akan merasakan manisnya iman; yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya, dan tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya sebagaimana dia benci apabila dilemparkan ke dalam kobaran api/neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di sinilah kiranya cinta kita diuji dan diseleksi. Allah SWT. berfirman (yang artinya),
“Apakah manusia itu mengira dibiarkan berkata ‘kami beriman’ lalu mereka tidak diuji?” (QS. al-‘Ankabut : 2)
Akankah kecintaan kita kepada bola mengalahkan kecintaan kita kepada semerbak pahala dan kemilau amal salih?
Penulis : M. Siryi Zamil
|Jember, 10 Juli 2018 |Romm, 07.00)
No comments:
Post a Comment