NYAMAH KUS BEKUS SE` E` BEOBE
(Nama bagus yang dirubah)
Biasanya setiap saya pulang ke Madura, mesti saya mencari buku bacaan yang memang ditaruh di kotak lemariku. Tadi pagi saya mencoba masuk kamar dan membuka lemari itu, saya mendapati Fandle atau bisa juga disebut cenderamata. Barang itu milik adikku, mungkin sengaja dia mengamankannya disana sebelum berangkat ke pondoknya. Cenderamata biasanya dibuatkan oleh sekolah sebagai kenang-kenangan karena sudah keluar lulus dari sekolah.
Saya tersenyum sendiri membaca nama-nama yang tertera di cenderamata tersebut. Karena sebagian banyak nama-nama yang saya baca di cinderamata itu masih kental khas Madura-nya. Mungkin, para guru di sekolah langsung mengentre nama panggilan dari wali si siswa waktu mendaftarkan ke sekolah dulu tanpa dipikir makna dan kesinambungannya.
Selaras dengan lagunya ust. Anwar, "oreng Madureh, nyamah kus-bekus e beobe".
Baik, sebagian saya bacakan, nama yang seharusnya ditulis lengkap *Muhammad atau Ahmad* malah hanya diambil sepotong, ditulis sesuai panggilannya. Jadinya, tertulis *Matsehri*, *Matjuhri*, *Matruji*, *Matdewi*, *Matnisam*, *Matdehri*, ada juga *Matlebbi* dan banyak lagi nama berawalan *Mat* lainnya. Ada juga yang berawalan *Abdul*. namun dirubah *Dul*, pasalnya banyak nama yang berawalan *Abdul* tersebut yang berubah, seperti *Dulwefi, *Dulhamid*, *Dulkariem*, *Dulmuni* bahkan salah satu ustadku dulu, namanya yang benar *Abdullah* tapi oleh santri dipanggil ust. *Dulla*, gurunda, semoga beliau baik-baik saja.
Yang perempuan, *Hosaimah* ditulis *Hosmah*, *Sulaikho* jadi *Suliha*, *Muslimah* jadi *Limah*, *Hamidah* jadi *Mideh*, *Azizah* jadi *Siseh*. dan seterusnya. Lanjutkan sendiri bagi yang hobi "ngabsen". ha!
Bagi saya, nama-nama seperti di atas sudah sebagian baik, yang sesuai asmaul husna dalam Al-Qur'an, tetapi yang kurang baik ketika nama nama tersebut di-madura-kan, diambil sepotong nama panggilannya, pun sampai tertulis di atas kertas akta dan ijazah yang existensinya begitu berharga bagi kita.
Namun begitu, diterima atau tidak, kita tetap bersyukur dengan nama nama pemberian tersebut, meski ke depan sebaiknya tidak membiasakan merubah nama anak-anak kita. Beruntung sekali kita tidak hidup di zaman kakek-kakek kita dulu, dimana nama-nama mereka tak kenal makna. Tak jarang saya tersenyum manyun ketika hadir di acara-acara HAUL, ketika ustad yang bertugas di "tawassul" membacakan nama-nama buyut-kakek dari tuan rumah. Ada yang bernama *Tomang, Kerreng, Porron*, ada juga *Celleng* bahkan ada pemakaman besar di dekat rumahku, nama "bujuk"nya adalah *"Te Kettang"* Memang aneh-aneh nama orang-orang dulu. hehe !
Nama-nama orang Madura sebenarnya bagus-bagus, karena sebagaimana budaya yang ada, orang Madura setiap hendak menamai anak yang baru dilahirkan harus meminta nama kepada kiyai, atau setidaknya Ustad (guru ngaji) yang berada di daerahnya. Nama itu diambil dari Al-qur'an, biasanya dari Asmaul husna. Berbeda mungkin dengan orang di luar sana, dimana mereka lebih mengadopsi nama-nama artis di Televisi untuk menamai anaknya.
Oleh karena, nama-nama yang baik itu jangan dirubah-rubah (nyamah kus-bekus jhek beobe!) dan pihak sekolah atau lembaga pendidikan sebaiknya tidak secara langsung mengentre nama panggilan siswa untuk dijadikan data valid, yang terkadang tak sesuai makna yang sempurna.
| Penulis : *M Siryi Zamil
|Sampang, 26 Juni 2018 |Kamar, 09.30
Hahhaa... Kalakonnah oreng Madureh can Ustad Anwar.
ReplyDeleteBedul bedul ndra, gimana kabar blogmu?
Delete