"Jangan paksa saya menyebut namamu lagi, karena namamu dapat memutus hubungan harmonisanku denganNya"
***
Hari ini inspirasi baru yang saya petik dari tulisan salah seorang teman baikku adalah kata "Minggu".
Dalam tulisannya, dia memaparkan bagaimana kegiatan hari Minggu di kampung kelahirannya.
Minggu, kata itu mengingatkan saya pada artikel kecil ust. Moh. Toha, yang pernah saya baca sebelumnya, dimana Artikel itu mengulas tentang kronologis Ahad yang sering kali diganti Minggu. Makanya saya dalam peragraph berikut ini akan berlanjut membahas dan mengutarakan pandangan saya terhadap peristiwa tersebut.
Baiklah, izinkan saya mengulas sedikit tentang hari Minggu yang saat ini lebih digunakan daripada Ahad. Kata "Minggu" diambil dari bahasa Portugis, "Domingo" (dari bahasa Latin Dies Dominicus yang berarti "Dia Do Senhor", atau "Hari Tuhan Kita"). Dalam bahasa Melayu yang lebih awal, kata ini dieja sebagai "Dominggu" dan baru sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kata ini dieja sebagai "Minggu".
Jadi, kita pasti paham siapa yang dimaksud "Tuhan kita", bagi yg beribadah di hari minggu.
Reaksi saya, setelah membaca artikel ust. Moh. Toha tersebut, saya jadi sadar, saya pun mencoba lisanku untuk tidak lagi biasa mengatakan Minggu, dan menggantinya dengan Ahad, mrngganti seminggu dengan sepekan. Intinya saya jadi tidak suka kata itu lagi, meskipun orang orang di sekelilingku atau mungkin se tanah airku sangat doyan dengan kata tersebut.
Sejak itu pula saya juga sering menyindir orang orang sekawanku, sebelum kata Ahad tidak terlalu jauh dihilangkan. Karena sudah banyak sekali bahkan dalam kalender penanggalan kita, kata itu tidak lagi dicantumkan, berganti Minggu, ditambah lagi penetapan hari libur nasional yang serentak di hari itu. Tak bisa dibayangkan, pondok pesantren meliburkan kegiatan akademik santrinya di hari itu pula, seolah menjadi hari yang sangat istimewa.
Saya dan mungkin banyak orang lainnya yang sepemikiran, tidaklah mungkin turun jalan untuk mengumumkan itu, tapi setidaknya kami bersuara bahwa era ini bukan lagi perang fisik, tapi perang pemikiran dan peradaban.
Setidaknya kita berpikir bahwa peristiwa mengistimewakan hari yang satu itu memiliki latar belakang. Setidaknya kita berpikir bahwa di hari itu umat lain berlibur dari kerjanya untuk beribadah kepada Tuhannya, namun kita malah mengikutinya berlibur. Sementara di hari yang sudah jelas ditentukan sebagai hari libur dan perkumpulan, kita justru sibuk bekerja dan bahkan meninggalkannya. Ya, hari istimewa kita adalah Jum'at, seharusnya pada hari itu kita mengosongkan kerja, berlibur untuk berkumpul bersama keluarga juga tetangga.
Ternyata tanpa disadari, di saat kita mengistimewakan hari itu sebagai hari rehat berarti sama saja merelakan akidah dan peradaban agama kita terjajah.
Dengannya, saya mulai berjanji untuk tidak biasa menyebut hari Ahad menjadi Minggu dan tidak pula meramaikan kegiatan di malam itu, malming (malam Minggu), yang serba tidak jelas dan cenderung bermaksiat.
Kembali lagi ke peragraph awal, tulisan ini hanyalah sebuah kajian kecil kecilan, bukan reaksi nyirnyiran yang berakibat saling benci dan bermusuhan. Berharap semoga kita terus bersinergi, berbagi solusi, karena bagaimana pun hidup yang indah itu apabila adanya kita dapat memberi arti.]
|Penulis : *M Siryi Zamil
|Jember, 22 Juli 2018 | Room, 09.00
No comments:
Post a Comment